Monday, November 17, 2008

my side of the bed

He fell asleep. Comfy and quiet inside my arms. I can hear his steady breath in my right ear. I open my eyes and slowly rearrange his position, sliding him slowly out of my arms - into his side of the bed. I have to continue my assignments. Tomorrow is the deadline. My dead line, if I don't submit it on time. I open the first page on my documents. The white bed sheet wrinkles under his weight. And so does the white pillow sheet. The dim afternoon sunlight goes through my purple curtain and paints his face with an amazing light and shade. The reflection of colours from the paintings of buildings on our wall saturates the room into red, yellow, and blue. And I am still staring at a blank page in my laptop screen. Focus, focus.

I start to type: Module, Name, Class, Student ID, Lecturer, Due Date.

Due Date. Deadline. When is my deadline for this? This very moment that I've been having since he asked me to take his reaching hands. When will be the last time I am able to hear him say, "Send me to sleep, Dear" ? I stare at the empty space beside his untroubled slumber - my side of the bed. I saw him hurt before, I made him hurt before. Will I be hurting him again when the time comes where I will not be able to hush him to sleep? How much will it ache for me when it happens?

I lean close to him and kiss him softly, slowly. Sending him my silent lullaby. I don't think I can do my assignment.

Wednesday, November 12, 2008

komik dan sore yang tenang....

....membosankan, tepatnya. Housemate gue, Adin, udah dengan nggak sabar mondar-mandir di dalam rumah. Emang bosen, sih. Di rumah belum ada TV, belum ada apa-apa, dan dompet tipis kempis miris. Mau jalan keluar nggak cukup, beli TV....yah moga-moga yang baca ini berbelas kasihan dan sudi menyumbangkan beberapa lembar lima puluh ringgitan. Main-main internet juga lama-lama bosen. Mau bikin tugas (yang banyak itu) tapi itu bukan alternatif normal yang akan kita pilih kalo bosen, kan?
Akhirnya gue memutuskan untuk kembali ke kebiasaan lama: baca komik.
Karena udah lama gue melupakan kebiasaan membaca komik ini, maka yang gue bawa dari rumah cuma beberapa komik top five gue:
Dunia Mimpi
Yang ceritanya tentang cewek bernama Noriko yang tiba-tiba terlempar ke dunia lain yang sama sekali beda dengan dunia kita sehari-hari. Dia menghadapi masalah yang kayaknya nggak habis-habis (coba bayangin terdampar di dunia yang nggak ada pesawat dan komunikasi digital, kendaraan tercepatnya adalah naga, dan lo nggak ngerti sama sekali bahasa di dunia itu), dan belum sampai beradaptasi sama dunia itu, dia ternyata punya peran besar yang membuat dia diburu sama penjahat-penjahat besar (nah kan). Dan ujung-ujungnya dia ditolong sama ranger super ganteng dan jagoan yang kemudian jadi pacarnya......yang kemudian baru diketahui bahwa sebenernya si ganteng ini harusnya adalah musuh terbesarnya si Noriko. Hm.
Perfect Girl Evolution
Komik ini keren. Serius. Ceritanya tentang empat cowok kelewat ganteng yang sedang belajar hidup mandiri dan sangat kesulitan uang yang hidup terlantar sampai akhirnya mereka ditampung sama seorang tante-tante tajir berrraaaaatt yang akan kasih mereka diskon sewa rumah setengah harga kalo mereka bisa bikin keponakannya bertransformasi jadi an eligible bachelorette. Dan ternyata si cewek keponakannya ini kondisinya terlalu memprihatinkan dan cenderung disturbing. Namanya Sunako. Dikatakan di sini bahwa Sunako mencintai kegelapan, Halloween, dan film Freddie vs Jason (tau kan yang Friday The 13th itu). Kalau bicara, Sunako lebih kedengeran kayak ngegerundel atau lagi baca mantra sihir hitam dan kemana-mana pake baju item panjang (termasuk ke sekolah) dan juga agak haus darah, sukanya berantem.
Take The "A" Train
Komik yang ini agak sentimental. Bagus banget, banyak pesan moralnya (nggak kok, nggak boring). Ini tentang kehidupan Ayah dan anak perempuannya yang namanya Kina. Kina ini pinter banget dan sangat sensitif, in sense of social. Kina pada dasarnya sangat deket sama Ayahnya tapi karena si ayah ini arsitek terkenal jadi hampir setiap harinya Kina ngurusin dirinya sendiri. Mereka tinggal di kota besar dimana hampir nggak ada tempat main buat anak-anak. Di sini diceritain gimana Kina menemukan hal-hal istimewa di hari-harinya, dan gimana pada saatnya dia harus belajar melepaskan mereka satu persatu.
Little New York
Yang ini ceritanya mengenai seorang fotografer perempuan di Jepang pada zaman kedatangan bangsa asing ke Jepang dulu. Dia akhirnya jatuh cinta sama dokter dari New York yang pada akhirnya ngelamar dan ngebawa dia pulang ke New York. Baru disitu masalahnya mulai, gimana orang Jepang direndahkan di New York, gimana dia harus struggle untuk menyukseskan karir fotografinya, dan yang paling berat: gimana diterima di keluarga suaminya.
Sailor Moon
Yang ini mah gue nggak usah ceritain deh. Kalian semua (baik yang memuji, menghina, tertawa ngakak, atau melamun penuh nostalgia) pasti tau ceritanya si Usagi Tsukino yang terlalu ceroboh kemudian berubah wujud jadi super hero cantik yang melawan monster-monsternya Queen Veril, tidak lupa dengan kekuatan bulan. Dan selalu ditolong sama si ganteng Topeng Tuxedo (itu lho yang selalu ngelempar mawar yang somehow nancep di tanah sebelum nolongin Sailor Moon).
Dan selesai membaca kelima komik ini, reaksi gue dari dulu selalu sama. Tarik nafas dalem-dalem dan berharap kehidupan seperti itu atau at least sedikit dari elemen-elemen di kehidupan seperti itu (I mean, gue nggak mau juga sampe kelempar ke dunia lain dan terancam dibunuh dan gue nggak bisa nelpon bantuan) bisa gue alami. Rather than this ordinary life - this boring afternoon, maybe gue bisa mengalami excitement di cerita-cerita itu.
Emang penyakit deh baca komik-komik kayak gitu kalo lagi ketumpuk tugas.

Tuesday, November 11, 2008

WORKOUT!!!!!


I stopped eating rice (yeah right) and my boyfriend told me not to waste any time blogging about this (while eating my left arm which starting to look like jell-o). So I decided to start working out, I mean I used to love sports but somehow this university life ruined my healthy lifestyle. Et voila! I decided to swim. Which used to be my all-time-favourite, which then turned out to be ALOT more difficult after a year of absence.

me, struggling


Yeah well I struggled for like, 10 laps, and then surrendered to 10 crab springrolls afterwards. Then I forced myself to run and I (uhm) collapsed. In my defense, that was my first day of (sorry) period. So I guess that didn't count. And I'm sorry to all of my sweet friends that were involved in that collapsing moment. Eka, I know you will read this sometime soon, I promise to check and double check my health before I follow your tough routine of exercising.

At the end of the day, I managed to understand the moral of this whole collapsing story. "Beauty is painful" THAT can't be more true.

Saturday, November 8, 2008

sebentar lagi, sebuah mimpi

Cahaya sore hari mulai meredup. Ketika saya memejamkan mata, siluet jendela kamar saya telah bercampur dengan sinar kemerahan yang perlahan berubah gelap. Perlahan, sangat perlahan. Seperti ketika saya berusaha memahami dan belajar peduli pada kamu. Dengan lembut, redup sore hari membelai rambut saya dan membuat saya terlelap tenang. Sejenak saja. Hanya untuk menguapkan kelelahan yang bertengger di kedua bahu saya yang mulai lemas.

Saya bermimpi tentang kamu.

Tentang kedua matamu yang membuat saya bertanya ingin tahu. Tentang senyummu yang menyembunyikan sesuatu. Bermimpi tentang suaramu yang tenang. Suaramu, setenang tidur sejenak sore ini, yang selalu berhasil melepas lelah yang bersikeras duduk di kedua bahu saya yang tidak cukup kokoh. Saya melihat diri saya memandang ke dalam kedua mata itu, tempat kamu bersembunyi dengan rapi, sambil berusaha menangkap kilas demi kilas kelebatan jujur yang terkadang berlari menyeberang dari satu sisi ke sisi lain. Pada saat-saat seperti itu, saya akan tersenyum di dalam hati. Memilih untuk berpura-pura tidak melihat mereka melintas. Membiarkan mereka menampakkan diri pada saat yang tepat. Perlahan, dengan terbuka, dan tidak terpaksa.

Di dalam mimpi, kamu mengulurkan tangan, menunggu saya menggandengnya. Lagi-lagi, saya berpura-pura tidak melihat uluran itu. Tersenyum di dalam hati, menunggu mereka yang bersembunyi di balik kedua mata itu keluar. Perlahan, dengan terbuka, dan tidak terpaksa.

Kamu mungkin kecewa. Barangkali kamu sempat merasa saya berjalan menjauh. Saya tertawa kecil. Kenapa kamu terlihat aneh? Saya selalu menganggap kamu sebagai salah satu dari kita. Hanya seringkali saya terlalu sibuk melindungi diri. Dari apa? Entah, saya tidak pernah yakin. Mungkin dari matahari siang yang terik. Atau cahaya kemerahan senja yang akan selalu berubah menjadi gelap. Mungkin juga dari tengah malam yang begitu diam dan kesepian. Bisa juga pagi hari yang mengharuskan saya menghadapi kewajiban. Dari kamu. Dari musuh-musuh di dalam diri sendiri. Entah. Saya terlalu sibuk melindungi diri.

Sebentar lagi saya akan terbangun. Karena hari-hari tidak selalu merupakan mimpi. Saat saya terbangun, kamu tidak akan berada di sini. Tapi hari ini akan segera berlalu. Dan begitu juga dengan besok. Juga hari-hari setelah besok. Dan pada saatnya, saya mungkin akan menggandeng tanganmu yang terulur. Perlahan, dengan terbuka, dan tidak terpaksa.

minggu pagi

Pada suatu pagi saya terbangun. Terbangun dan dunia tampak berbeda. Saya menggeliat perlahan, menikmati peregangan setiap sendi pada tubuh saya. Sebersit matahari pagi menerobos melalui celah-celah korden putih. Saya menyipitkan mata dan menguap. Pagi yang malas dan kebahagiaan yang jelas. Mungkin ini sebabnya dunia terlihat berbeda, atau paling tidak, hari-hari saya terlihat berbeda. Jari-jari saya terlihat mencolok di tengah sinar putih. Cat kuku merah marun yang sudah mulai mengelupas. Jelek banget. Besok saya tambal. Hari sudah mencapai pertengahannya. Matahari yang melewati celah korden dengan tanpa ragu-ragu terasa hangat. Saya masih memandangi langit-langit. Berusaha menemukan sumber rasa bahagia yang begitu jelas dan kabur di saat bersamaan. Kebahagiaan yang terlalu nyata dan ambigu. Saya tersenyum kecil, dan buru-buru menghapusnya lagi. Apa coba senyum-senyum sendiri? Saya tarik selimut sampai ke dagu dan memejamkan mata sebentar. Aah, pertengahan hari Minggu yang santai. Kenapa waktu tidur itu bukan pagi sampai siang hari? Saat sore hari matahari meredup dan melembut seharusnya kita baru bangun dan memulai hari di bawah cuaca yang bersahabat, tanpa ada panas terik yang membakar, sambil sesekali menatap bulan atau bintang kalau cuaca cukup cerah. Lalu saat matahari pagi mulai muncul, disertai semburat-semburat ajaib yang muncul di angkasa sebagai pengantar mimpi indah yang sempurna, kita tidur. Saya kembali membuka mata, karena dunia tidak berjalan seperti itu. Menggeliat lagi perlahan sambil mengumpulkan tenaga untuk bangun. Menoleh ke samping kanan dan saya tersenyum lebar. Kenapa daritadi saya mencari sumber kebahagiaan di langit-langit kamar sementara dia sedang bernafas teratur di samping saya? Saya mengambil kamera dan mengabadikannya, setiap lekuk wajah tidurnya yang damai tertimpa sinar yang masuk melalui celah-celah korden putih kamar ini.

Klik.
Sekarang wajah itu abadi.

Saya mengecup matanya yang terpejam dan berjalan ke kamar mandi.

his thought, my amazing morning

I woke up one morning after a long night of arguing with ugly eyes and a letter on his side of the bed. He was kinda mad and I cried a little, then I called a pause and went to bed. Along with the letter, he left his bracelet.


I sat up straight and then put the bracelet on my left ankle, and started to read. After a terrible night, he wrote:


Tonight, the tears that has been locked up inside has escaped.
It all escaped so quickly till it's really hard to catch each of them.
It all began to escape when she began to slowly close her eyes.
I couldn’t look anywhere else.
All I want to see is her.
And when I tried to look away, my face was automatically turned back, kept still, staring and admiring her.

Her big eyes that’s half closed.
Her lips that are half open making me feel like kissing her so badly.
Her small hands, that has been posed near her head giving a look of cuteness.
It reminded me of the good days spent with her, until now, in my opinion at least.

Each tear that had ran down my cheek, defines how much I miss her on how we used to be.

Each tear reminded me of the sweet smile that has made me happy.
Each tear reminded me of how happy I was, when hugging her.
The hug, the hug that cools down my abnormal body temperature to a constant.
Each tear reminded me how much I miss sleeping with her, side by side, face to face.
The small hands that wrapped around my body weight a weight that made me feel comfy, making me not want to change my position.
Each tear reminded me of the kiss that matches my lips, the kiss that I would like more and more of.

Oh, the happy and comfy feeling that she has given me.
Are the feelings that I could not let go.
I thank her for every single thing she’s done to me.
She’s the best gift that I’ve ever had.

But,
Unfortunately, in the mean time it’s not a really good time for us.
Unfortunately, in the mean time I’m not able to hug and kiss her.
Ow of how much I miss u lately. I can’t take it.

But just like what happened in the past, patience is all I need for now.
Because what comes is better, then what came.
So light up, light up.

Sorry ya kalo jelek...


I cried again, missing him badly and half-panicking for his absence in my bedroom, I stormed out to the living room. And there he was, smiling widely at me with a pair of tired eyes - lack of sleep - wrapped me around with his arms close to him.


And at that moment, I knew I am home.

mesin waktu dan senja hari itu

Mesin waktu.

Aku memimpikan tentang mesin waktu setiap beberapa saat dalam keseharianku. Seperti siang tadi, saat aku masih enggan bergerak lebih dari lima meter, pemikiran tentang mesin waktu mulai merasuki pikiranku. Waktu adalah misteri. Caranya bekerja seringkali mengejutkanku, membangunkanku dari lamunan yang membuai, mengembalikanku pada penyesalan-penyesalan yang kulewati bersamanya. Bersama waktu.

Waktu telah membuatku terbawa dalam tawa riang, tangis duka, pelajaran, keputusasaan, kebuntuan, kebahagian, dan banyak kenang-kenangan lain yang dibawanya ke dalam hidupku selama sembilan belas tahun. Waktu mengajariku menonton semua cuplikan-cuplikan hidupku yang telah berlalu, baik maupun buruk – suka ataupun tidak suka, tanpa dapat menggapainya kembali dan memperbaikinya. Waktu bukanlah sesuatu yang kembali, saat itulah datang memori. Memorilah yang kembali menggantikan waktu.

Memori membuatku berpikir banyak, menyadarkanku akan kesalahan dan keberuntungan. Memori seringkali membuat kedua mataku terpejam penuh kepenatan dan tawa pahit di sela-sela kesepianku, namun juga tak jarang ia mengembalikanku ke dalam ilusi kebahagiaan. Saat aku merasakan kebahagiaan dalam memori yang datang mengunjungiku, aku sadar itu adalah kenangan akan kebahagiaan. Kebahagiaan yang sebenarnya adalah yang sedang kugenggam, yang sedang berada tepat di sebelahku.

Kebahagiaanku sedang tersenyum menatap ke arahku. Tinggi dan tegap, membuatku merasa begitu lengkap dan terlindungi, menggenggam erat tangan kananku seperti tidak ingin melepaskannya lagi. Aku bertanya-tanya apakah ia tahu apa yang sedang kupikirkan ketika aku menatap kembali ke dalam kedua mata cokelatnya yang teduh. Apakah ia tahu bahwa aku merasa begitu kehilangan setiap kali sosoknya menghilang di ujung jalan?

Ia adalah kebahagiaanku yang paling dalam sekaligus paling rapuh. Kekuatan sekaligus kelemahanku.

Setiap kali aku memandangnya berjalan menjauh di akhir kebersamaan-kebersamaan singkat kami, aku merasa dapat kehilangan dirinya sewaktu-waktu. Ia memberiku kesedihan dan kegembiraan yang sama besarnya setiap kali jari-jariku membelah kisi-kisi rambutnya, mencoba menangkap sekeping pikirannya yang melayang-layang. Aku hampir selalu gagal dalam hal itu, ataukah sebenarnya pikirankulah yang gagal kutangkap? Lagi-lagi sebuah misteri.

Aku lebih suka berbicara di dalam kepalaku, meramu pertanyaan-pertanyaan, menanyakannya, dan memberikan kemungkinan-kemungkinan akan jawabannya di dalam otak sederhanaku. Itulah kenapa aku tertarik padanya pada kedekatan kami yang pertama.

Saat memandangnya dan menemukannya memandang kembali ke dalam mataku, aku menemukan beribu-ribu pertanyaan tanpa berhasil menemukan jawabannya. Menarik. Menantang. Melelahkan. Aku ingin tertawa mendengar diriku berpikir seperti ini. Saat mencintainya aku merasa begitu sempurna. Mencintainya membuatku merasa utuh. Menyatukan kembali kepingan-kepingan yang lepas. Aku mencintai kebahagiaanku saat mencintainya. Aku mencintai kejernihan matanya yang mengamatiku dalam diam untuk kemudian berbisik di telingaku, memberitahuku betapa dia mencintaiku.

Dan biasanya aku akan berteriak dan menjelaskan padanya bahwa aku juga mencintainya. Seperti aku mencintai hujan. Hujan yang mengguyur perlahan dan meninggalkan harum rerumputan sejuk serta butiran embun. Hujan yang selalu menyisakan secuil surga di bumi. Aku selalu berteriak membalasnya seperti itu, di dalam kepalaku.

Aku sudah bilang aku bukan pembicara yang baik.

Aku adalah pemikir yang sangat baik, tetapi merupakan pembicara yang sangat buruk. Itu adalah suatu bentuk penyiksaan. Karena aku tidak pernah mampu menyampaikan maksudku. Untuk memperburuk keadaan, belum pernah ada yang mampu menyelami pikiranku dan mendapati maksudku yang sebenarnya. Itu yang sering membuatku kesepian – menciptakan jarak antara aku dan dunia di sekitarku.

“Kamu lelah?” Tanyanya sambil membelai rambutku. Perlakuan yang sangat kusuka. Aku tersenyum dan menatapnya, “Lelah untuk apa?”.

“Aku tidak tahu, sepertinya yang macet bukan hanya jalan ini, tapi juga pikiranmu.”

Aku tertawa kecil. Dia baru saja membacaku. Aku mencintainya karena bersama dirinya aku tidak perlu mengerut-ngerutkan setiap sudut otakku untuk menciptakan sebuah pernyataan atas apa yang sedang kupikirkan. Aku mencintainya karena dia memberikan waktunya untuk mengamatiku dan membacaku saat orang-orang lain mengandalkan kepraktisan komunikasi verbal yang merupakan kesulitanku yang utama.

Ya, aku lelah mencoba memikirkan alasan yang paling tepat untuk memberitahumu seberapa berartinya kamu untukku. Aku lelah mencoba mengerti arti kehadiranku di sisimu. Aku lelah menebak-nebak perasaanmu yang sebenarnya, pikiran terdalam yang tersimpan jauh di balik kedua mata cokelatmu yang hampir selalu terlihat gembira.

Tentu saja aku mengatakannya di dalam kepalaku, “Tidak. Aku baik-baik saja. Seperti biasanya.”

Tangannya masih terdiam di samping kepalaku sejenak. Bersamaan dengan matanya yang masih mencoba mengobservasi pikiranku melalui kedua mataku yang kini berbohong. Dan kemudian dia tersenyum kecil dan kembali pada kemudi. Menatap sedikit frustrasi ke arah jalanan yang dipenuhi kendaraan-kendaraan yang sudah terdiam di tempatnya masing-masing selama setengah jam terakhir. Jalanan memang sedang tidak bersahabat. Tapi aku tidak begitu keberatan. Gerimis kecil sedang mengantar turunnya senja. Langit masih menyisakan sedikit cahaya senja yang menyembul dengan enggan dan lampu-lampu di jalan sudah menyala. Waktu favoritku selama satu hari. Dan aku sedang bersamanya.

Dia menarik nafas dalam. Aku tersenyum tanpa menatapnya dan menyandarkan kepalaku pada bahunya.

“Nanti pasti bergerak juga,” hiburku sambil mencium bahu jaketnya yang beraroma cherry. Dan dia kembali membelai rambutku.

Pikiranku kembali disibukkan dengan masa depan yang akan kami hadapi. Yang harus kami hadapi. Perlahan dadaku terasa sesak. Kenapa kesulitan harus datang di saat-saat yang paling sempurna? Aku selalu mengatakan padanya sambil tersenyum, Jangan pikirkan kesulitan yang akan menghadang di depan. Kita sedang mengenggam kebahagiaan dan itulah yang terpenting. Nikmati hari ini. Kebohonganku yang terbesar. Ketakutanku pastilah lebih besar dari miliknya.

Walaupun begitu, entah kenapa di suatu tempat yang dalam di sudut diriku aku yakin, seperti jalanan senja ini, keadaan akan menjadi lebih baik. Kami akan menemukan jalan keluar. Entah bagaimanapun bentuknya.

“Hm?” Dia menaikkan sebelah alisnya ketika menyadari tatapanku. Mungkin dia membaca sebersit kekhawatiran di wajahku. Aku mengusap pipinya dan tersenyum, “Tidak.” Kemudian aku mencium bibirnya perlahan.

Dan aku merasa semuanya akan baik-baik saja.