Saturday, November 8, 2008

mesin waktu dan senja hari itu

Mesin waktu.

Aku memimpikan tentang mesin waktu setiap beberapa saat dalam keseharianku. Seperti siang tadi, saat aku masih enggan bergerak lebih dari lima meter, pemikiran tentang mesin waktu mulai merasuki pikiranku. Waktu adalah misteri. Caranya bekerja seringkali mengejutkanku, membangunkanku dari lamunan yang membuai, mengembalikanku pada penyesalan-penyesalan yang kulewati bersamanya. Bersama waktu.

Waktu telah membuatku terbawa dalam tawa riang, tangis duka, pelajaran, keputusasaan, kebuntuan, kebahagian, dan banyak kenang-kenangan lain yang dibawanya ke dalam hidupku selama sembilan belas tahun. Waktu mengajariku menonton semua cuplikan-cuplikan hidupku yang telah berlalu, baik maupun buruk – suka ataupun tidak suka, tanpa dapat menggapainya kembali dan memperbaikinya. Waktu bukanlah sesuatu yang kembali, saat itulah datang memori. Memorilah yang kembali menggantikan waktu.

Memori membuatku berpikir banyak, menyadarkanku akan kesalahan dan keberuntungan. Memori seringkali membuat kedua mataku terpejam penuh kepenatan dan tawa pahit di sela-sela kesepianku, namun juga tak jarang ia mengembalikanku ke dalam ilusi kebahagiaan. Saat aku merasakan kebahagiaan dalam memori yang datang mengunjungiku, aku sadar itu adalah kenangan akan kebahagiaan. Kebahagiaan yang sebenarnya adalah yang sedang kugenggam, yang sedang berada tepat di sebelahku.

Kebahagiaanku sedang tersenyum menatap ke arahku. Tinggi dan tegap, membuatku merasa begitu lengkap dan terlindungi, menggenggam erat tangan kananku seperti tidak ingin melepaskannya lagi. Aku bertanya-tanya apakah ia tahu apa yang sedang kupikirkan ketika aku menatap kembali ke dalam kedua mata cokelatnya yang teduh. Apakah ia tahu bahwa aku merasa begitu kehilangan setiap kali sosoknya menghilang di ujung jalan?

Ia adalah kebahagiaanku yang paling dalam sekaligus paling rapuh. Kekuatan sekaligus kelemahanku.

Setiap kali aku memandangnya berjalan menjauh di akhir kebersamaan-kebersamaan singkat kami, aku merasa dapat kehilangan dirinya sewaktu-waktu. Ia memberiku kesedihan dan kegembiraan yang sama besarnya setiap kali jari-jariku membelah kisi-kisi rambutnya, mencoba menangkap sekeping pikirannya yang melayang-layang. Aku hampir selalu gagal dalam hal itu, ataukah sebenarnya pikirankulah yang gagal kutangkap? Lagi-lagi sebuah misteri.

Aku lebih suka berbicara di dalam kepalaku, meramu pertanyaan-pertanyaan, menanyakannya, dan memberikan kemungkinan-kemungkinan akan jawabannya di dalam otak sederhanaku. Itulah kenapa aku tertarik padanya pada kedekatan kami yang pertama.

Saat memandangnya dan menemukannya memandang kembali ke dalam mataku, aku menemukan beribu-ribu pertanyaan tanpa berhasil menemukan jawabannya. Menarik. Menantang. Melelahkan. Aku ingin tertawa mendengar diriku berpikir seperti ini. Saat mencintainya aku merasa begitu sempurna. Mencintainya membuatku merasa utuh. Menyatukan kembali kepingan-kepingan yang lepas. Aku mencintai kebahagiaanku saat mencintainya. Aku mencintai kejernihan matanya yang mengamatiku dalam diam untuk kemudian berbisik di telingaku, memberitahuku betapa dia mencintaiku.

Dan biasanya aku akan berteriak dan menjelaskan padanya bahwa aku juga mencintainya. Seperti aku mencintai hujan. Hujan yang mengguyur perlahan dan meninggalkan harum rerumputan sejuk serta butiran embun. Hujan yang selalu menyisakan secuil surga di bumi. Aku selalu berteriak membalasnya seperti itu, di dalam kepalaku.

Aku sudah bilang aku bukan pembicara yang baik.

Aku adalah pemikir yang sangat baik, tetapi merupakan pembicara yang sangat buruk. Itu adalah suatu bentuk penyiksaan. Karena aku tidak pernah mampu menyampaikan maksudku. Untuk memperburuk keadaan, belum pernah ada yang mampu menyelami pikiranku dan mendapati maksudku yang sebenarnya. Itu yang sering membuatku kesepian – menciptakan jarak antara aku dan dunia di sekitarku.

“Kamu lelah?” Tanyanya sambil membelai rambutku. Perlakuan yang sangat kusuka. Aku tersenyum dan menatapnya, “Lelah untuk apa?”.

“Aku tidak tahu, sepertinya yang macet bukan hanya jalan ini, tapi juga pikiranmu.”

Aku tertawa kecil. Dia baru saja membacaku. Aku mencintainya karena bersama dirinya aku tidak perlu mengerut-ngerutkan setiap sudut otakku untuk menciptakan sebuah pernyataan atas apa yang sedang kupikirkan. Aku mencintainya karena dia memberikan waktunya untuk mengamatiku dan membacaku saat orang-orang lain mengandalkan kepraktisan komunikasi verbal yang merupakan kesulitanku yang utama.

Ya, aku lelah mencoba memikirkan alasan yang paling tepat untuk memberitahumu seberapa berartinya kamu untukku. Aku lelah mencoba mengerti arti kehadiranku di sisimu. Aku lelah menebak-nebak perasaanmu yang sebenarnya, pikiran terdalam yang tersimpan jauh di balik kedua mata cokelatmu yang hampir selalu terlihat gembira.

Tentu saja aku mengatakannya di dalam kepalaku, “Tidak. Aku baik-baik saja. Seperti biasanya.”

Tangannya masih terdiam di samping kepalaku sejenak. Bersamaan dengan matanya yang masih mencoba mengobservasi pikiranku melalui kedua mataku yang kini berbohong. Dan kemudian dia tersenyum kecil dan kembali pada kemudi. Menatap sedikit frustrasi ke arah jalanan yang dipenuhi kendaraan-kendaraan yang sudah terdiam di tempatnya masing-masing selama setengah jam terakhir. Jalanan memang sedang tidak bersahabat. Tapi aku tidak begitu keberatan. Gerimis kecil sedang mengantar turunnya senja. Langit masih menyisakan sedikit cahaya senja yang menyembul dengan enggan dan lampu-lampu di jalan sudah menyala. Waktu favoritku selama satu hari. Dan aku sedang bersamanya.

Dia menarik nafas dalam. Aku tersenyum tanpa menatapnya dan menyandarkan kepalaku pada bahunya.

“Nanti pasti bergerak juga,” hiburku sambil mencium bahu jaketnya yang beraroma cherry. Dan dia kembali membelai rambutku.

Pikiranku kembali disibukkan dengan masa depan yang akan kami hadapi. Yang harus kami hadapi. Perlahan dadaku terasa sesak. Kenapa kesulitan harus datang di saat-saat yang paling sempurna? Aku selalu mengatakan padanya sambil tersenyum, Jangan pikirkan kesulitan yang akan menghadang di depan. Kita sedang mengenggam kebahagiaan dan itulah yang terpenting. Nikmati hari ini. Kebohonganku yang terbesar. Ketakutanku pastilah lebih besar dari miliknya.

Walaupun begitu, entah kenapa di suatu tempat yang dalam di sudut diriku aku yakin, seperti jalanan senja ini, keadaan akan menjadi lebih baik. Kami akan menemukan jalan keluar. Entah bagaimanapun bentuknya.

“Hm?” Dia menaikkan sebelah alisnya ketika menyadari tatapanku. Mungkin dia membaca sebersit kekhawatiran di wajahku. Aku mengusap pipinya dan tersenyum, “Tidak.” Kemudian aku mencium bibirnya perlahan.

Dan aku merasa semuanya akan baik-baik saja.

No comments: